Dasar Ilmu ‘Arudh dan Awal Mula Akhiran Syi’ir
Kamis, 11 April 2019
Add Comment
Dasar Ilmu ‘Arudh dan Awal Mula Akhiran Syi’ir
Ditulis : Nurlinah, M.Ag.
Pendahuluan
Sastra adalah
salah satu macam dari macam-macam kehidupan manusia dan proses penciptaan yang
ditemukan manusia di dalam bahasa mereka yang beragam, dan terjadi dalam khayalan-khayalan
yang mengagumkan, yang menghasilkan karya-karya sastra, cara pemahaman dan
pengucapan, emosi-emosi halus, dan keinginan manusia yang menyatu antara satu
dan yang lain.[1]
Sesuai pembahasan,
sastra adalah sebuah ide yang menjadi acuan sebuah seni atau bahan dan bentuk
yang diletakkan di dalamnya, dan kedua unsur ini serupa di setiap sastra yang
dihasilkan. Maka unsur bahan dan bentuk dalam sastra adalah dua unsur yang
mendirikannya, keduanya seperti tubuh dan ruh pada manusia.[2]
Oleh karena itu, sastra adalah apa yang membekas pada kita dengan karakter
seni, perasaan yang indah, dan emosi-emosi halus secara bersamaan. Karakter
seni meliputi atas bentukan seni atau acuan seni atau bentuk tampak dari
sastra, baik drama ataupun peperangan. Perasaan yang indah terdapat dalam diri
seorang sastrawan atau penya’ir, dan emosi-emosi halus merupakan dasar dari
pembuatan sebuah karya sastra, dan apabila sastra kehilangan sentuhan lembutnya
maka kita tidak menamakannya sebagai sastra lagi. Untuk itu, jika menemukan
perkataan yang tertata seperti Alfiah Ibn Malik, ini tidak termasuk
kedalam sastra karena di dalamnya tidak terdapat sentuhan halus itu.
Tentunya sebuah
karya sastra terdapat dalam bentuk yang bermacam-macam, baik dalam tarian,
kisah, ataupun percakapan. Di samping itu dulunya sastra dimaknai konotasi yang
mencakup atas makna-makna yang banyak. Dan bahasa sastra berkaitan dengan
sikap, kejadian-kejadian, kenangan-kenangan, perumpamaan-perumpamaan dan juga
mencakup atas suara yang keras, pelan, pembuatan sastra, alat, dan barang-barang dalam hidup. Dan
bahasa digunakan sebagai alat yang dasar dalam kesastraan yang berkaitan dengan
simbol berserta maknanya yang dalam, bahkan
ungkapan seni yang memiliki bentuk zat pada dasar kesastraannya dan sadar akan
makna-makna kemanusiaan yang menyerupainya. Dan dengan inilah seni berkembang,
ia manusia yang kaya akan kemanusiaannya, kemudian menyerupai pencapaian makna
kemanusiaan baginya sebagai suatu yang darurat dari semua kedaruratan atau
sebagai suatu kebutuhan dari semua kebutuhan.
Maka kebutuhan
dasar manusia tak tercukupi dengan banyaknya harta, dan sumber daya alam yang
telah disediakan, bahkan dibutuhkan didalamnya alat penghubung untuk mencapai
tujuan yang bermanfaat di hidupnya, dan sebagiannya dengan bahasa dan sastra,
keduanya sumber dasar dalam kehidupan manusia yang bermasyarakat dan keilmuan.
Dan kesastraan contohnya memiliki kosa kata yang tersebar yang tergabung di
dalamnya kadar yang tinggi dan bahasanya melekat bukan hanya makna sumbernya
saja melainkan di dalamnya makna konotasi yang beragam yang tidak dipakai dalam
bahasa ilmiah. Dan dengan bahasa kesastraan ini jadilah pembuatan sastra.
Dan apabila
membahas tentang pembuatan sastra dari segi jenisnya, terdapat di dalamnya
pembuatan sastra prosa dan syi’ir. Maka syi’ir meliputi atas peperangan, drama,
kisah dengan bahasa hewan, berdiri di tempat yang tinggi, dan syi’ir peperangan
telah berkembang pada fajar kemanusiaan, dan merupakan syi’ir yang menceritakan
kejadian-kejadian perang, kepahlawanan, dan para pahlawan yang bersahaja dan
sedikit dari kepercayaan akal dan seni, begitu pula perbuatan-perbuatan yang
luar biasa dan kejadian-kejadian yang jarang terjadi. Dan unsur-unsurnya ialah
menggambarkan melalui percakapan, mendeskripsikan kepribadiaanya, dan pidato.
Dan dulu syi’ir
adalah pembuatan sastra yang besar di dunia sejak manusia kanak-kanak. Dan di
antara nash-nash yang masih terjaga adalah syi’ir peperangan pada kesastraan Yunani
kuno: Ilias dan Odysee untuk penyair Homerus 880 SM, di kesastraan Latin
Al-Inyadah untuk penyair Farjil, dan peperangan Al-Komedya Al-Ilahiyah Ladante
133 M, dan Al-Firdaus Al-Mafqud untuk penyair Miltun 1674 M, kemudian dirapikan
Muhammad Iqbal risalah al-khulud atau jawednamah sekitar seribu bait dalam bahrur
raml dengan aturan al-mutsnawa, dan Mahabiharatsa untuk penyair Hindi. Dan
seribu penyair Persia, Firdaus dari penyair-penyair zaman Al-Ghoznawi
Asy-Syahanamah dengan 60 ribu bait. Dan terdapat dalam kesastraan ‘Arab,
Asy-Sya’bi, peperangan Asy-Sya’bi antara Az-Zair As-Salim dan Abi Zaid
Al-Hilaly dan tekenal dengan kekeringan dan anak perempuan yang mempunyai
keinginan yang tinggi dan lainnya. Ini semua gagal pada zaman yang baru,
beberapa penyair mencoba dengan bahasa-bahasa yang berbeda dalam menuliskan
peperangan. Dan manusia masih membaca dan takjub dengan peperangan-peperangan
lama yang disebutkan. Seni sastra mengenai peperangan pindah setelah zaman lama
dari seni ke sastra Asy-Sya’bi dan berakhir setelah berkembangnya kemanusiaan,
dan bertambah banyak alat hiburan seperti radio, televisi, internet, komputer
dan sebagainya. Dan mereka menghasilkan pembuatan sastra dengan perkembangan
dan budaya yang beragam di negara yang berbeda.
Pelu diketahui
bahwasanya Bahasa ‘Arab telah berkembang di negara-negara ‘Arab yang lebih
dahulu menghasilkan pembuatan sastra baru dan asli di setiap ilmu-ilmu alamiah
seperti kedokteran, astronomi, kimia, aljabar, geometri dan sebagainya, begitu
pula di ilmu filsafat, sejarah, sikap dan sastra.
Ini setelah
bersatunya ‘Arab dengan Islam baik agama dan budaya seluruhnya bersumber dari
perkembangan islam. Mereka menjadikan Islam sebagai syri’at dan pedoman yang
tertulis dalam Al-qur an dan dasar dalam pembuatan-pembuatan sastra mereka.
Maka Al-qur an adalah perkataan Allah ‘azza wa jalla yang merupakan gambaran
tercapainya seni-seni Islam berangsur-angsur secara bahasa bagi mereka. Orang ‘Arab
melihat bahwasanya hakikat keindahan Al-qur an dari sastra dan bahasa meliputi
atas pendeskripsiannya, makna-maknanya, dan isinya. Dan Al-qur an bukan syi’ir
atau prosa, tetapi Al-qur an adalah yang mulia, petunjuk bagi manusia, dan
penjernih apa yang dalam dada. Dan ini sastra secara mutlak (sastra Al-qur an)
atau prosa yang menyentuh (prosa mutlak). Tidak menggunakan kaidah syi’ir
maupun prosa akan tetapi lebih besar keinginan mendapat syahadat yang indah,
tinggi, yang tak terhitung kecuali olehNya. Dan syi’ir berkaitan dengan
kaidah-kaidah tertentu, kata yang memiliki pola dan berakhiran sama, di
dalamnya terdapat khayalan yang menakjubkan, pemikiran, kelembutan, dan
makna-makna yang berbeda yang keluar dari otak penyair.
Pembuatan sastra
yang baru tumbuh dan berkembang hasil-hasil baru dengan banyaknya sumber-sumber
dan rujukan-rujukan baru dari Al-qur an, Hadits, dan perkembangan yang diambil
dari perkembangan yang berbeda di dunia (Yunani, Latin, Persia, Hindi, Asia dan
sebagainya). Maka Al-qur an dan perkataannya yang nyata mendorong kesastraan
yang tinggi, memiliki tema yang banyak seperti mendorong untuk beramal sholeh,
nasihat yang bermanfaat, pelajaran yang baik, zuhud, pujian kepada Allah,
RosulNya, para sahabatnya, para mujahidin di jalan Allah, dan penengah bagi
Islam dari yang mendzoliminya. Dan kehidupan sastra berubah sangat cepat berdasarkan
perubahan hidup kebanyakan, maka tumbuhlah permintaan kebutuhan pada manusia
dan terjadilah perkelahian antara mereka dan antara kelompok masyarakat. Inilah
yang menyibukkan mereka dari mengerjakan pembuatan sastra keseluruhan dan
menghasilkan sastra yang bagus, yang layak di hadapan manusia sepanjang waktu.
Dan kebiasaan orang ‘Arab itu benar, tidak salah dalam bahasanya dan tersebar
berangsur-angsur dalam perkataan mereka seperti yang kita tahu itu jelas dalam
prosa dan syi’ir mereka.
[1] Yus Rusyana, Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan
(Bandung: Diponegoro 1984),h.311
[2] Sholahuddin An-nadawiy, Mukhtaraat minal adab almuqorin (Penelitian
di Universitas Syarif Hidayatullah Al-Islamiyyah Al-Mukarromah, Jakarta:
1998),h.2
0 Response to "Dasar Ilmu ‘Arudh dan Awal Mula Akhiran Syi’ir"
Posting Komentar