-->

Stilistika : Diantara Nyanyian Para Pengembala (Karya : Abû al-Qâsim al-Syâbî)



Diantara Nyanyian Para Pengembala
Karya: Abû al-Qâsim al-Syâbî

Pagi menjelang seraya bernyanyi untuk kehidupan yang sepi
Bebukitan bermimpi di bawah naungan bunga-bunga yang berayun
Angin timur membuat dedaunan bunga-bunga kering menari
Cahaya membimbing di jalan setapak yang gelap itu
Pagi menjelang nan indah, memenuhi cakrawala dengan keelokannya
Maka bunga-bunga bersikap pongah, burung, dan gelombang air
Semesta yang hidup telah sadar, dan bernyanyi untuk kehidupan
Sadarlah duhai domba-dombaku, marilah duhai kambing-kambing
Ikutilah aku duhai kambing-kambingku, di antara kawanan burung
Penuhilah lembah dengan embikkan, loncatan dan kegembiraan
Dengarlah bisikan anak-anak sungai, hiruplah wewangian bunga
Lihatlah lembah, ditutupi kabut terang
Petiklah rerumputan bumi dan padangnya yang baru
Dengarlah serulingku, bersiul menjadi sumber nyanyian
Simfoni yang terbit dari hatiku, bagai nafas mawar
Lalu naik terbang, bagai bulbul yang bersiul gembira
Jika kita mendatangi hutan dan tertutup pepohonan
Petiklah yang kau mau, rumput, bunga dan buah
Mentari menyusuinya dengan cahaya dan bulan memberinya gizi
Minumlah dari tetesan gerimis pada saat fajar
Bersenang-senanglah semaumu di lembah-lembah atau di atas anak bukit
Berlindunglah di bawah naungannya yang membentang jika kau takut lelah
Kunyahlah rerumputan dan ide-ide dalam keheningan bayang
Dengarlah angin bernyanyi, di puncak gunung
Sungguh di hutan ada bunga-bunga, rerumputan segar
Lebah bersenandung di sekitarnya nyanyian merdu
Wanginya yang suci tak terkotori nafas-nafas serigala
Tidak, rubah pun tak mengelilinginya di beberapa pertemuan
Semerbak manis, pesona, kedamaian dan naungan
Angin sepoi yang melangkah memesona, penuh kemanjaan
Dahan-dahan dengan cahaya menari, dan keindahan
Kesuburan abadi, yang tak terhapus malam
Kau tak kan jemu, duhai domba-dombaku, di wilayah hutan nan teduh
Waktu hutan adalah anak kecil, bermain, nikmat, indah
Waktu manusia adalah lelaki tua, bermuka masam, berat
Ia berjalan dalam kejemuan, di atas dataran rata
Bagimu, di hutan ada tempat gembala dan tempat nan indah
Bagiku ada nyanyian, seruling sampai waktu asal
Jika bayangan rerumputan telah memanjang, tidak mengindahkan, redup
Marilah kita kembali berusaha pada Yang Mahahidup dan Dermawan
Pendekatan stilistika untuk memahami qashîdah (sajak) manapun adalah bahasanya. Ini adalah konsep yang tidak diperdebatkan oleh ahli stilistika manapun. Namun konsep ini tidak mengatakan hal yang penting dari segi prakteknya. Aku tidak tahu, di hadapan qashîdah (sajak) manapun, dari mana aku mendatangi bahasanya: apakah aku mendatanginya dari segi pemilihan kosa kata atau kalimatnya? Atas dasar apa aku menyusun kosa kata-kosa kata atau kalimat-kalimat tersebut? Apakah aku harus menghitungnya agar mengetahui prosentase setiap jenis yang ada? Apakah hasil yang ingin aku dapatkan dari balik usaha ini, padahal ini adalah usaha yang amat sulit terutama jika qashîdah (sajak)-nya panjang?
Sampai sekarang kita telah menganalisis lima qashîdah (sajak). Namun cara analisis yang digunakan tidak ada yang sama. Namun kita –pada kebanyakan kasus- memperhatikan bagian-bagian qashîdah (sajak) yang unik. Ada kalanya dengan menilai posisinya, seperti judul atau permulaannya. Ada kalanya dengan menilai perbedaannya dengan yang biasa dikatakan misalnya pada kesesuaiannya. Ada kalanya juga dengan menilai perbedaannya dengan susunan yang digunakan dalam qashîdah (sajak) itu sendiri.
Ciri yng tampak paling menarik bagi kita dlam qashîdah (sajak) ini adlah ucapan-ucapan penyair kepda kambing-kambingnya, dimana kita dpat mengatakan bahwa qashîdah (sajak) ini dibangun atas dasar dialog ini. Ini karena dialog tersebut terdapat dalam enam bagian qashîdah(sajak) secara lengkap. Ini lebih dari setengah keseluruhan qashîdah (sajak) (dari bagian ketiga sampai keenam, lalu bagian kesembilan dan kesepuluh). Jika kita memandang tema puisi ini, yaitu deskripsi mengenai alam yang masih perawan, sebagai tema-tema yang sering diusung dalam puisi emotif, atau bahkan jika kita memandang ucapan penyair melalui lisan pengembala sebagai kebiasaan puisi Eropa, barangkali penyair telah terkenal dengan hal tersebut, maka qashîdah (sajak) pengembala ini tidaklah harus berpatokan secara dasar pada dialog dengan kambing-kambing. Agar qashîdah (sajak)  mulai terkuat di hadapan kita, seyogyanya kita bertanya, “Bagaimana sang pengembala mengajak domba  berdialog?”
Kita perhatikan adanya susunan dasar, yang hampir tidak ditinggalkan, dalam empat bagian pertama (dari bagian ketiga hingga bagian keenam). Sang pengembala menyuruh kambing-kambingnya untuk bersenang-senang dengan kebaikan-kebaikan yang diberikan hutan. Maksudnya, kalimat tersebut terdiri atas fi’il amr yang subjeknya adalah yâ’ mukhâthabah, yaitu kambing-kambing. Sedangkan objeknya adalah sesuatu yang dikandung oleh hutan. Susunan ini berarti bahwa penyair menciptakan kesatuan yang terdiri dari tiga pihak, yaitu penyair, kambing-kambing dan alam. Kaitan tiga pihak ini bisa jadi menunjukkan bahwa kambing-kambing memiliki fungsi mediator antara penyair dan alam. Anggapan ini menjadi kuat jika kita memerhatikan bahwa pekerjaan-pekerjaan yang diperintahkan kepada kambing-kambing kenyataannya adalah pekerjaan-pekerjaan penyair sendiri, misalnya:
Dengarlah bisikan anak-anak sungai, hiruplah wewangian bunga
Lihatlah lembah, ditutupi kabut terang
Ini ia padankan dengan satu pekerjaan dalam bait berikut:
Kunyahlah rerumputan dan ide-ide dalam keheningan bayangan
Namun kambing-kambing tersebut mampu melakukan banyak hal yang tidak mampu dilakukan oleh penyair. Kambing-kambing itu mampu memenuhi lembah dengan embikkan, loncatan dan kegembiraan. Mereka mampu memetik rerumputan di tanah dan padang barunya. Mereka juga mampu bersenang-senang semaunya di lembah-lembah atau di atas anak bukit....
                                                                                                                 
                                                                                                                     Domba

                                                                                                                       Hutan


0 Response to "Stilistika : Diantara Nyanyian Para Pengembala (Karya : Abû al-Qâsim al-Syâbî)"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

-->