Stilistika : Diantara Nyanyian Para Pengembala (Karya : Abû al-Qâsim al-Syâbî)
Selasa, 09 April 2019
Add Comment
Diantara Nyanyian Para Pengembala
Karya: Abû al-Qâsim al-Syâbî
Pagi menjelang seraya bernyanyi untuk
kehidupan yang sepi
Bebukitan bermimpi di bawah naungan
bunga-bunga yang berayun
Angin timur membuat dedaunan bunga-bunga
kering menari
Cahaya membimbing di jalan setapak yang gelap
itu
Pagi menjelang nan indah, memenuhi cakrawala
dengan keelokannya
Maka bunga-bunga bersikap pongah, burung, dan
gelombang air
Semesta yang hidup telah sadar, dan bernyanyi
untuk kehidupan
Sadarlah duhai domba-dombaku, marilah duhai kambing-kambing
Ikutilah aku duhai kambing-kambingku, di
antara kawanan burung
Penuhilah lembah dengan embikkan, loncatan dan
kegembiraan
Dengarlah bisikan anak-anak sungai, hiruplah
wewangian bunga
Lihatlah lembah, ditutupi kabut terang
Petiklah rerumputan bumi dan padangnya yang
baru
Dengarlah serulingku, bersiul menjadi sumber
nyanyian
Simfoni yang terbit dari hatiku, bagai nafas
mawar
Lalu naik terbang, bagai bulbul yang bersiul
gembira
Jika kita mendatangi hutan dan tertutup
pepohonan
Petiklah yang kau mau, rumput, bunga dan buah
Mentari menyusuinya dengan cahaya dan bulan memberinya
gizi
Minumlah dari tetesan gerimis pada saat fajar
Bersenang-senanglah semaumu di lembah-lembah
atau di atas anak bukit
Berlindunglah di bawah naungannya yang
membentang jika kau takut lelah
Kunyahlah rerumputan dan ide-ide dalam keheningan
bayang
Dengarlah angin bernyanyi, di puncak gunung
Sungguh di hutan ada bunga-bunga, rerumputan
segar
Lebah bersenandung di sekitarnya nyanyian
merdu
Wanginya yang suci tak terkotori nafas-nafas
serigala
Tidak, rubah pun tak mengelilinginya di beberapa
pertemuan
Semerbak manis, pesona, kedamaian dan naungan
Angin sepoi yang melangkah memesona, penuh kemanjaan
Dahan-dahan dengan cahaya menari, dan
keindahan
Kesuburan abadi, yang tak terhapus malam
Kau tak kan jemu, duhai domba-dombaku, di
wilayah hutan nan teduh
Waktu hutan adalah anak kecil, bermain, nikmat,
indah
Waktu manusia adalah lelaki tua, bermuka
masam, berat
Ia berjalan dalam kejemuan, di atas dataran
rata
Bagimu, di hutan ada tempat gembala dan tempat
nan indah
Bagiku ada nyanyian, seruling sampai waktu
asal
Jika bayangan rerumputan telah memanjang, tidak
mengindahkan, redup
Marilah kita kembali berusaha pada Yang
Mahahidup dan Dermawan
Pendekatan stilistika untuk memahami qashîdah (sajak) manapun adalah bahasanya. Ini adalah konsep yang tidak diperdebatkan oleh
ahli stilistika manapun. Namun konsep ini tidak mengatakan hal yang penting
dari segi prakteknya. Aku tidak tahu, di hadapan qashîdah (sajak) manapun,
dari mana aku mendatangi bahasanya: apakah aku mendatanginya dari segi
pemilihan kosa kata atau kalimatnya? Atas dasar apa aku menyusun kosa kata-kosa
kata atau kalimat-kalimat tersebut? Apakah aku harus menghitungnya agar
mengetahui prosentase setiap jenis yang ada? Apakah hasil yang ingin aku
dapatkan dari balik usaha ini, padahal ini adalah usaha yang amat sulit
terutama jika qashîdah (sajak)-nya panjang?
Sampai sekarang kita telah menganalisis lima qashîdah (sajak). Namun cara analisis yang digunakan tidak ada yang sama.
Namun kita –pada kebanyakan kasus- memperhatikan bagian-bagian qashîdah (sajak) yang unik. Ada kalanya dengan menilai posisinya, seperti
judul atau permulaannya. Ada kalanya dengan menilai perbedaannya dengan yang
biasa dikatakan misalnya pada kesesuaiannya. Ada kalanya juga dengan menilai
perbedaannya dengan susunan yang digunakan dalam qashîdah (sajak) itu sendiri.
Ciri yng tampak paling menarik bagi kita dlam qashîdah
(sajak) ini adlah ucapan-ucapan penyair kepda kambing-kambingnya, dimana kita dpat
mengatakan bahwa qashîdah (sajak) ini dibangun atas dasar dialog ini.
Ini karena dialog tersebut terdapat dalam enam bagian qashîdah(sajak) secara lengkap. Ini lebih dari setengah keseluruhan qashîdah (sajak) (dari
bagian ketiga sampai keenam, lalu bagian kesembilan dan kesepuluh). Jika kita
memandang tema puisi ini, yaitu deskripsi mengenai alam yang masih perawan, sebagai
tema-tema yang sering diusung dalam puisi emotif, atau bahkan jika kita
memandang ucapan penyair melalui lisan pengembala sebagai kebiasaan puisi
Eropa, barangkali penyair telah terkenal dengan hal tersebut, maka qashîdah
(sajak) pengembala ini tidaklah harus berpatokan secara dasar pada dialog
dengan kambing-kambing. Agar qashîdah
(sajak) mulai terkuat di hadapan kita, seyogyanya kita
bertanya, “Bagaimana sang pengembala mengajak domba
berdialog?”
Kita perhatikan adanya susunan dasar, yang
hampir tidak ditinggalkan, dalam empat bagian pertama (dari bagian ketiga
hingga bagian keenam). Sang pengembala menyuruh kambing-kambingnya untuk
bersenang-senang dengan kebaikan-kebaikan yang diberikan hutan. Maksudnya, kalimat
tersebut terdiri atas fi’il amr yang subjeknya adalah yâ’ mukhâthabah,
yaitu kambing-kambing. Sedangkan objeknya adalah sesuatu yang dikandung oleh
hutan. Susunan ini berarti bahwa penyair menciptakan kesatuan yang terdiri dari
tiga pihak, yaitu penyair, kambing-kambing dan alam. Kaitan tiga pihak ini bisa
jadi menunjukkan bahwa kambing-kambing memiliki fungsi mediator antara penyair
dan alam. Anggapan ini menjadi kuat jika kita memerhatikan bahwa
pekerjaan-pekerjaan yang diperintahkan kepada kambing-kambing kenyataannya
adalah pekerjaan-pekerjaan penyair sendiri, misalnya:
Dengarlah bisikan anak-anak sungai, hiruplah
wewangian bunga
Lihatlah lembah, ditutupi kabut terang
Ini ia padankan dengan satu pekerjaan dalam
bait berikut:
Kunyahlah rerumputan dan ide-ide dalam
keheningan bayangan
Namun kambing-kambing tersebut mampu melakukan
banyak hal yang tidak mampu dilakukan oleh penyair. Kambing-kambing itu mampu memenuhi
lembah dengan embikkan, loncatan dan kegembiraan. Mereka mampu memetik rerumputan
di tanah dan padang barunya. Mereka juga mampu bersenang-senang semaunya di
lembah-lembah atau di atas anak bukit....
Domba
Hutan
0 Response to "Stilistika : Diantara Nyanyian Para Pengembala (Karya : Abû al-Qâsim al-Syâbî)"
Posting Komentar