-->

Uang Recehan




Uang recehan

“Keris pusaka ini yang menolong kita dari malapetaka itu, untung saja ada ratu Patih bersama kita, Do ”
Ucap seorang ibu muda kepada anaknya sambil mencium sang Ratu Patih berkali-kali dan dimasukannya ke dalam tas.
Pemuda tanggung itu, Edo namanya, Hidung nya mancung, kulit sawo matang menyatu dengan badannya yang tegak, tapi sorot matanya putih tajam, jaket merah baru pemberian ayahnya yang selalu ia kenakan akhir dua pekan ini. Malam itu pukul 03:30 dini hari, dengan menarik resleting jaket merahnya ia melintasi tol dekat rumahnya, udara dingin mulai menembus pori-pori tubuhnya.
            “Tugas do?” tanya Mang Bajang, dengan  jaket hitam bertuliskan IOC (Ikatan Ojeg Cibaduyut) yang terpampang pada punggung bajunya .
“Ya, mang, gimana ramai mang di jalan?”  ia balik bertanya.
“ ya seramai-ramainya di jalan, do, alhmdulilaah lumayan”.
“Do, jalan dulu ya mang,”
“ya do, hahti-hati banyak anak Gang Motor lagi pada ngetrack”
“ siap mang”.
Bunderan cileunyi tempat ia mengais rezeki, kepingan logam recehan di tangannya hampir memenuhi dua saku celananya. Dengan menggerakan telapak tangan kanan mobil-mobil itu berbelok ke arah tubuhnya dimana ia berdiri. Tak lama supir pun membuka jendelanya dan mengulurkan tangan dengan sekeping logam putih bergambarkan merpati puith, 500 rupiah. Dua jam sudah ia lalui, tamparan angin mendukung dinginya malam itu. Sesekali ia melihat ibu-ibu berdandan menor dengan lipstik merah terang di bibirnya.
“30 ribu, lumayan.” Bisiknya dalam hati.
Buat makan ibu, Rere, Papa, Nana, ketiga adik kecilku,  beli rokok, kopi,  buat menghilangkan rasa jenuhku. Ia pun bergegas menuju rumah yang tak jauh dari tempat ia kerja.
***

Jadi tukang parkiran di kampungku bertaruh nyawa, hampir setiap kalangan menginginkannya, mereka saling berebut, berlomba. orang yang berumah tangga pun banyak, remaja seusiaku pun banyak, sekarang usia ku hampir 18 tahun, ibuku tak mengizinkan ku melanjutkan kuliah. Bukannya aku tak mau. Tapi beginilah adanya. Untung aku mendapat jadwal berdiri tegak di bunderan ini, karena dengannya aku bisa menghasilkan kepingan uang recehan ini.
Ibuku cantik, hingga ia punya empat suami. Lelaki mana yang tak suka dengannya, dimata ku, wajah ibu seperti telur ayam kampung yang pahat, lonjong dan putih, hidungnya lancip Ashanti, tubuhnya tinggi semampai, rambutya merah kecoklatan. Tapi sayang, ibu tidak berjilbab, pasti wajah telur ayam kampungnya akan tampak lebih cantik kalau ia mengenakannya. Dan pastinya yang menjadi suami ibu tidak akan meninggalkan ibu begitu saja.
Aku anak sulung dari dari empat bersaudara, masing-masing dari suami ibu mewariskan satu anak, diantarnya aku, Edo dari ayahku, Roy. Kata ibu ayah ku dari jakarta . tampan dan kaya raya, ibu cantik dan ayah tampan, kini ketampanannya mewarisiku.  suami ibu yang pertama, 18 tahun aku tidak pernah bertemu ayah, hanya lewat ponsel saja aku berbicara dengannya, itu juga aku disuruh ibu minta uang, tak pernah aku melihat parasnya. Nana, adik laki-laki pertamaku berusia 9 tahun, dari suami ibu yang kedua. Dia hitam dan berambut ikal, berbeda dengan rambutku yang lurus, mungkin ia mewarisi gen bapaknya. Rere adik perempuan pertamaku dari suami ibu yang ketiga, kini ia berusia 5 tahun, dan yang terakhir “papa” adik perempuan ku yang paling cantik tentunya dari suami ibu yang ke empatyang baru berusia dua tahun setengah. Lengkap sudah, lima kepala manusia di gubuk ini tanpa hadirnya seorang  kepala keluarga.
Kilauan Matahari itu pun memepermainkanku, entah mataku yang baru saja terbangun, atau kilauan matarahari yang sedang menari. Ssedikit terang dan sedikit gelap.  Hari-hari kujalani tanpa pernah kusadari aku beranjak 18 tahun, siang kujadikan malam, dan malam kujadikan siang,aku tak pernah melihat lagi orang yang berseragam lewat depan rumahku, mungkin aku sedang tertidur pulas, atau mungkin anak-anak sekarang tida lagi mengayom bangku pendidikan, karena di kampungku itu sudah hal yang wajar, deretan rumah yang berdiri sejajar rumahku semuanya menghadap ke utara, aku lihat lelaki itu datang lagi menemui ibu.
Hari itu aku masih berusia 5 tahun, ya tepatnya seusia Papa sekarang, lelaki itu keluar masuk rumah dan selalu mengepalkan uang pada tangan ibu, selang beberapa bulan, aku lihat perut ibu nampak besar dan terlahirlah “Nana” sebagai adik kecilku. Tak lama kemudian  anak-anak manis hadir d rumah gubuk ini.
Menurut bibiku dan Pamanku, semasa gadisnya ibu  terkenal sebagai paranormal yang sangat disegani di kampungku. Pemikiran yang sangat tradisional bagiku, walaupun sekolah ku hanya tamat Sekolah Menengah Pertama “ Ibu mu itu bukan keturunan sembarangan, Do. Masa nikah saja hampir setahun sekali, mana ada perempuan yang rela dikawini tanpa dinikahi. Ya itulah ibumu, dia sedang berguru katanya”celetuk  teman mainku sekaligus saudaraku itu, Eman.
Seorang tetangga di kanan rumah yang masih saudaraku datang ke rumah, anak bungsunya kesurupan, ibu menyodorkan segelas air putih yang sebelumnya dibacakan doa, dan menyuruhnya meminumkan air jampe-jampenya.  selang beberapa jam jin nya telah pergi! Ibu komat kamit sendiri, aku serasa tak mengenal sosok ibu pada waktu itu. Sorot matanya tajam dia seperti dihadapkan pada dunia barunya. Anatara percaya dan tidak namun memang benar adanya.
Nyaris setiap hari rumah ibu selalu kebanjiran tamu, rumah yang selalu hening dari sunyi menjadi hingarbingar oleh suara pengaduan segala penyakit. Apalagi ketika aku melihat sosok laki-laki kitam dengan kulit hitam yang seminggu ini sering keluar masuk ke gubuk ini.
“ini keris pusaka bu Dewi yang aku dapatkan ketika bertapa di Merapi, barangkali kau lebih butuh dari pada ku” ucap lelaki hitam itu dengan mengepulkan asap rokok di ruang tamu.
“tak usah lah Mas, sayang kau bertapa lama-lama. Alhasil, Dikasih sama orang tak dikenal seperti ku  mas” gaya bicara ibu berubah dengan logat jawa, bahasa ibunya.
“terima saja, barang kali kau lebih membutuhkannya daripada aku. Keris pusaka Bu Dewi itu kiasan dunia yang akan menolong kita dan ilmu kita akan semakin sempurna”.
Kaki papa yang mungil terus berayun menghampiri ibu, dengan tangisannya yang khas bangun tidur, memotong obrolan mereka di ruang tamu.
Serangkaian obrolan yang intens antara ibu dan lelaki asing itu, entah apa ujungnya, yang aku dapat simpulkan, ibu punya benda pusaka baru,yaitu pusaka bu Dewi yang akan menggantikan ratu patih.
 Semakin hingar bingar keadaan rumah, dunia mistik yang menjadi tuhan. akhirnya aku jadikan jalanan sebagai rumah keduaku, aku menelan waktu bersama tumpahan oli yang melebar panjang. Dunia  di kepalaku dunia yang gelap, pendidikan dan kasih sayang tak ku dapat.  Sesekali mataku berair bukan hanya karena asap, atau debu jalanan. Tapi, setiap kali aku melihat tingkah ibu, aku selalu ingin meneteskan air mata dan aku langsung menghapusnya dengan saputangan kotor yang selalu kubawa dalam saku celanaku ketika terik panas itu mulai menggarang badanku yang berada di tengah jalanan.

******
Nur, wanita berjilbab pujaanku. sahabat semasa Sekolah Menengah Pertama (SMP) ku, kini ia dapat mengayom pendidikan hingga Sekolah Menengah Atas, bapaknya kepala rumah Tangga di kampungku, ia sangat tak menyukai ibu, pernah sesekali datang ke rumah untuk menagih bayar pajak rumah dengan suara yang agak membentak. Aku tak tahu apa yang ada dalam pikiran Nur, ia sangat menyayangiku. Padahal aku hanya anak jalang yang tak tahu dari lelaki mana yang menjadi bapakku sendiri.
Suatu hari, datang ke rumahku,
“ sudah hampir setahun Rumah ini belum bayar pajak, Astri.mana kepala keluarga saja belum jelas yang mana?
Orang yang berda di dalama rumah melongo, termasuk ibuku.
***



“ bapakmu tak sudi melihat kelurgaku, Nur”  ucapku padanya saat senja mulai temaram.
“Mengapa? tak ada yang salah dengan keluargamu?” jawab Nur dengan mata melongo. Memang kamu sudah berubah Do, hanya karena hal kecil kamu berani mengambil keputusan unutk mengakhiri hubungan ini.”
“kami hanya diaanggap kecoak. Derajat mu denganku berbeda, bapakmu sudah muak melihat kelakuan ibuku”.
Dua hari suda aku tidak bertemu dengan Nur, setelah obrolan kami memastikan untuk mengakhiri hubungan.
“Edo kau harus lihat ini” ucap Nur menghampiriku, yang berada di rumah gubukku saat itu.
“ini benda kesayangan ibu mu, ia lebih sayang pusaka ini daripada kamu!” Nur semakin melotot. Lihatlah,  Aku memusnahkannya!! Suaranya semakin meninggi. Ini kan yang kau ingin dari ibumu?
“kamu takkan bisa lakuakn itu nur, kamu bisa kwalat,
Aku telah membakarnya dan abunya aku buang ke sungai, ibumu terlalu sering menduakan Tuhan”. Nur gemetar dan berkeringat dingin.
Napas ibu tersengal-sengal, pikirannya menerawang. Tawanya kian melengking menembus lubang ventilasi, sebentar menagis sebentar tertawa, dunia mistisnya berpisah dengan jasadnya. Aku saksikan roh-roh bergentayangan mulai menjauh dari gubuk rumah kami.
“Ibu bisa gila Nur, bukan begini caranya.”
“karena aku cinta kamu juga ibumu, Do”
Tapi bagaimana dengan adik-adikku?
“Rere?”
“Papa?”
“Nana?”

Angin malam itu mengagetkan tirai jendelaku, kulitku semakin  hitam pekat diwarnai debu jalanan, keris pusaka itu menertawakanku di balik pintu kamar ibu,kini,  ia telah kembali.
            Belati masih dalam genggamanku kalau kau perlu, Nur.





0 Response to "Uang Recehan"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

-->